Kamis, 08 November 2012

Meet May Ho, Open my mind about working in NGO


“Mbak, Do you want to meet May Ho, she is Program manager of eye care education project in Vietnam, works for Brien Holden Vision Institute Foundation?” asked Courtney Saville, my supervisor in my work placement.
“Yap, I’m interested to meet with her” I said. Courtney Saville, who supervise and facilitate me to make agenda in getting work experience in Vision 2020 (Australia and International Agency for the prevention of Blindness), had ever gone to Indonesia and been able to speak Indonesia well. Sometimes, She call me ‘Mbak’ because when she
were in Indonesia, she often used it to call Indonesian woman.

“Ok, I’ll tell her that you want to meet her. She is so kind, smart and easy going. You can ask many things about her program and others that you want to know”. Then, she told me to meet May Ho on Tuesday, 30th october 2012, at 10.30 am at her office.
It became my first work experience to meet someone important in an international organization alone without accompanied by my supervisor. But, that’s ok, it gave me a change to build confident and communication by my self.

I get work placement in vision 2020 Australia and International Agency for prevention of Blindness in 174 Queen Street, Melbourne, Victoria while I’m in the proram of AIYEP 2012-2013 (Australia-Indonesia Youth Exchange Program). This Organization represents over 50 member organization’s involved in local and global eye care, health promotion, low vision support and eye research, collaborating each other to achieve the goal of blindness prevention. One of their partnership is BHVI (Brien Holden Vision Initiative). And that is the organization where May Ho works for.

I went from my office to May Ho place by taxi, Actually it’s not too far. The taxi driver, a Punjabi man, was so kind. I told him that i want to go back by walking but I don’t know yet the street way. So, He show the nearest way to go back to vision 2020 office before I got out of the taxi.

I came earlier 15 minute. When I met her, my first image of her was like what Courtney said –kind, friendly, easy going-.
“welcome to my office, sorry it’s a little bit messy” she directly show her office room  and bring me a chair to sit on. I saw many books, computer and other things put on the tables in the room about 3*4 metres. How a small for a busy woman like her. Just few seconds then we start our discussion seem like we’ve made friends before.

She told me about BHVI is international organization that work in vision correction
 and creator of vision care research, developing global eye care and education in optometry, and commercialization of advances vision product. BHVI inisiates a foundation that deliver eye care service to regions where it is urgently required in parnertship with local government and non-government agencies. In order to create sustainanble, accessible, affordable vision care system.

May Ho have position in public health team in managing education and training course project in Vietnam. She shared her story about eye health condition in Vietnam before they run the project in 2005. There are many vietnemese who get eye and  vision impair but there just have a few spectacle shop and unprofessional optometries. Many of  those people don’t get any or proper treatment for their eyes. These condition can influence their quality of life such as they have refractive error then getting difficult in vision. Finally, it makes them difficult to work. And it has effect on their social economy life.
In this project, the foundation  provides  refractive error services development, capacity buiding, establishes vision centres and sets up the management system of vision centres as sustainable facilities in Vietnam.

I’m amazed about what she had contributed for the communities. Even though, she stays in Melbourne but she work for people who need help and far away from. And, I’m inspired of her career in working globally. I asked her some question about how could you work in the global range and  involved to the international organization like BHVI foundation.
“hmm, it not a short journey, I’d got bachelor of optometry as international sudent in one of university in Australia. I love working for community and  I’d ever work as volunteer in public eye and vision care in Melbourne. I thought it quite difficult for me to work with kinds of different cases of disease.  then I thought to work simplier and to able giving wider benefit. i tried getting involved into international organization”. She told me.

She also gave me some advices that if i want to work globally, public health is one provision that could facilitate me work for community in local or global area.
“If  you are a doctor, you can try working in local Non Government Organization (NGO) in Aceh, or getting master in public health, that could give you chance to  work further in an international NGO” May suggestes me.

I had only 1 hour to meet her, but we had discussed many thing. Those are only some storie that I can share. Even, I don’t have a real job in vision 2020, but having this kind of  meeting seem like I’m in the real work atmosphere in Australia. Thanks AIYEP and Vision 2020 Australia.

If you are interested about the youth exchange program and the organization,
Please, have a look at the website below:

-          Youth Exchange program Information in Aceh

-          AIYEP information from Australian website

-          Vision 2020 Australia website
http://www.vision2020australia.org.au/

Cut Risya Firlana
Participant of AIYEP 2012-2013
Student of Medical faculty, University of Syiah Kuala, Aceh, Indonesia.

May Ho
Program Manager in Vietnam
Brien Holden Vision Institutewww.facebook.com

Senin, 10 September 2012

Kapal PLTD Apung I di Punge, Wisata Pendidikan Tsunami

Jika mendengar  nama Provinsi Aceh, kira-kira apa saja yang ada dipikiran anda? ‘Serambi Mekkah’, ‘ Tari saman Aceh’, kemudian ‘Tsunami’. Yap benar sekali. Sejak akhir tahun 2004, Aceh diingat dengan kejadian bencana tsunami oleh kebanyakan penduduk Indonesia  dan dunia, tepatnya terjadi pada 26 Desember 2004 lalu. 




Saat ini, Aceh menjadi wisata untuk mengenang Tsunami, tempat wisata yang banyak dikunjungi adalah Taman Edukasi Tsunami dan Monumen Kapal PLTD Apung. Kurang seru bila sudah berkunjung ke Aceh tetapi belum mengunjungi tempat wisata yang satu ini. Banyak turis domestik maupun international yang berkunjung. Diantaranya berasal dari, Provinsi lain dari seluruh Indonesia, Jepang, Korea, Turki, Eropa, Amerika dll. Hampir dapat dipastikan bahwa, Kapal PLTD Apung menjadi tujuan wisata wajib bagi para pendatang yang datang ke Banda Aceh.




Kapal PLTD Apung I (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) ini milik PLN Aceh dengan berat 2.600 ton, panjang 63 meter, dan luas 1.600 m2,  dihempas oleh gelombang tsunami dan terdampar  ke darat sejauh kurang lebih 5 km dari laut pada kejadian gempa dengan kekuatan 9.3 SR dan gelombang Tsunami setinggi 30 meter pada minggu pagi 26 Desember 2004. Kapal ini menjadi salah satu saksi bisu hebatnya kejadian gempa dan Tsunami di Aceh, yang menghancurkan beberapa wilayah di Provinsi Aceh serta merenggut korban manusia sekitar 300.000 jiwa. Dua pertiga wilayah Kota Banda Aceh merupakan kawasan yang paling parah mengalami kehancuran dan setengah dari penduduknya, 230.000 jiwa, meninggal dunia.


Saat berkunjung ke lokasi, Pengunjung disuguhkan dengan pemandangan kapal seberat 2.600 ton berada di atas tanah dan diantara rumah-rumah penduduk. Ada pula, beberapa rumah yang rusak maupun hancur akibat terjangan tsunami, tetap di dipertahankan sebagaimana aslinya saat setelah Tsunami. Beberapa waktu lalu, pemerintah setempat merenovasi fasilitas dan memperluas lahan wisata untuk memudahkan pengunjung menikmati perjalanan dan eksplorasi tempat ini. Terdapat banyak pemandu wisata yang dengan senang hati akan menceritakan seputar terjadinya Tsunami di Aceh, bagaimana kapal ini bisa terdampar di daratan, pengalaman para korban yang selamat karena berada di atas kapal saat Tsunami terjadi, dan penjelasan tentang kapal ini sendiri. Bahkan mereka menjual CD yang berisi video kejadian saat  tsunami terjadi di Aceh dari hasil rekaman video korban yang selamat. Pengunjung juga diperbolehkan menaiki kapal dan mengelilingi seluruh bagian atas kapal.



Ketika berkeliling  diatas kapal, pengalaman penulis yang secara langsung pernah merasakan gempa saat kejadian tersebut, timbul perasaan unik seperti sedih, terharu, takjub mengingat bagaimana  kuasa Tuhan menggerakkan bumi yang dapat menimbulkan tsunami sampai memberikan bukti  akan kuasa-Nya yaitu terdamparnya kapal ini di daratan. Hal ini pasti sangat kecil bagi-Nya tetapi kita sebagai manusia tidak mungkin memindahkannya hanya dengan waktu kurang lebih 3 jam. Di  3 dek teratas kapal, kita dapat melihat banyak peralatan kapal yang masih dirawat untuk mendukung fasilitas wisata seperti, tali tambang, jangkar, cerobong asap, beberapa mesin dll. Sedangkan, mesin diesel kapal dipindahkan untuk dipergunakan kembali.  



Selain itu, Pemandangan sekitar yang dapat dilihat dari atas kapal, memperlihat panorama kota Banda Aceh yang indah, dikelilingi barisan pengunungan seolah-olah membantasi daratan dan lautan. Bagian teratas kapal diletakkan 4 buat teropong di setiap sudut kapal sehingga pengunjung dapat melihat pemandangan sekeliling secara lebih dekat. Didukung dengan cuaca yang cerah, menyempurnakan perjalanan wisata penulis di tempat ini.





Di sebelah barat kapal, terdapat Monumen Tsunami. Bangunan ini terdiri dari sebuah tiang besar dan lebar yang diatasnya terdapat replika kapal kayu yang hancur akibat terjangan tsunami dan jam besar dengan gambar jarum jam yang menunjukkan waktu saat Tsunami di Aceh terjadi, pukul 07:55 pagi (minggu, 26 Desember 2004). Di badan tiang, terdapat ukiran nama-nama korban Tsunami  yang meninggal dan merupakan penduduk kampung sekitar, yang dibuat sebagai tanda untuk mengenang mereka. Di belakang tiang monument, dibuat suatu dinding melengkung, terdapat relief yang menggambarkan keadaan rumah, gedung, mobil-mobil porak-poranda di dalam gelombang Tsunami. Relief Kapal PLTD Apung dibuat sangat jelas terbawa dan berada diatas gelombang Tsunami.  Monumen ini dapat dijadikan media pendidikan tsunami, terutama lebih mudah dipahami oleh anak-anak. Terlihat beberapa anak bermain  di bagian ini, mengambil foto sebagai kenang-kenangan dan menanyakan “ini gambar apa – itu gambar apa” kepada orang tuanya atau anggota keluarganya yang lain.






Sisi kompleks yang menarik lainnya berada di sisi tenggara kapal. Terdapat museum foto-foto korban maupun kondisi setelah Gempa dan Tsunami 26 Desember 2004 silam. Ada yang memperlihatkan kondisi mayat-mayat korban tsunami yang masih berserakan dipinggir jalan, tersangkup di atap-atap rumah, penduduk yang harus mengungsi, pembuatan kuburan massal  bagi korban yang sangat banyak dan tidak diketahui identitasnya, kondisi jalan yang penuh dengan sampah Tsunami, dll. Pengunjung yang mendatangi bagian ini ada yang memperhatikan foto-foto tersebut dalam diam, sedih dan menangis bagi yang kehilangan anggota keluarga saat bencana tersebut. Untuk menambah informasi, juga terdapat poster-poster edukasi Gempa dan Tsunami. Daerah ini juga dikelilingi dengan taman yang asri, teduh, difasilitasi dengan ayunan anak. Ramai anak-anak yang memilih bagian ini untuk bermain dan belajar.



Lokasi wisata tsunami yang satu ini, terletak di Kampung Punge Blang Cut, kota Banda Aceh,  sebelah barat salah satu icon lain Aceh, Mesjid Raya Baiturrahman, hanya butuh waktu  45 menit bila ingin berjalan kaki dan sekitar 10 menit berkendaraan. Hampir seluruh warga  kota Banda Aceh mengetahui lokasi ini, jadi tidak perlu khawatir kesulitan dalam bertanya. Bahkan, agar mudah menemukan tempat wisata ini, penduduk setempat membuat Gapura jalan menuju lokasi yang diapit oleh 2 replika Kapal PLTD Apung I. Banyak jenis transportasi kota baik angkutan publik maupun pribadi yang memfasilitasi perjalanan menuju lokasi, seperti Labi-labi (sejenis angkot Aceh), Becak motor, mobil rental dll.




Salah satu kemudahan situs wisata ini adalah waktu berkunjung, dibuka setiap hari dari senin – minggu, dengan jadwal pagi 09.00 – 12.30 WIB dan sore 14.00 – 17.30 WIB. Tidak ada retribusi biaya masuk apapun alias gratis, hanya saja pengunjung yang menaiki kendaraan seperti mobil, sepeda motor, dll wajib membayar biaya parkir. Oleh karena itu, situs ini sangat ramai dikunjungi  oleh kalangan manapun. Bagi anda yang ingin berwisata, belajar , plus tanpa menguras biaya banyak, tempat ini sangat direkomendasikan.

Pemerintah Aceh, menjadikan Situs ini sebagai salah satu media pendidikan mengenai Gempa dan Tsunami pada siapa saja yang berkunjung melalui kegiatan-kegiatan diatas. Salah satu harapannya adalah agar pengunjung mengetahui betapa hebatnya kejadian bencana ini, kerusakan yang ditimbulkan, dan dapat timbul kesadaran siap siaga bencana bila sewaktu-waktu kejadian serupa kembali terjadi.
Bagaimana, tertarik untuk mengunjungi situs yang satu ini? banyak sekali pihak yang mempublikasinya dan memberikan berbagai informasi yang diperlukan. Bagi anda yang ingin berkunjung, tentunya ini sangat membantu.


Rabu, 29 Agustus 2012

Kerokan atau Rautan ??…crossculture misunderstanding

Bermula dari pengalaman kedua saya tinggal di Jakarta pasca tsunami.  Perubahan lingkungan yang berbeda secara tiba-tiba ternyata membuat kita kurang siaga  menghadapi proses adaptasi di lingkungan baru. Akan tetapi, ketidaksiapan tersebut membingkai pengalaman adabtasi kita bernuansa lebih indah dan mungkin takkan pernah terlupakan, seperti pengalaman saya berikut ini ^^.

Pengalaman saya yang satu ini selalu membingkai bibir saya dengan senyum saat mengenangnya, yaitu tentang kesalahpahaman makna kata akibat beda budaya (masih bersifat nasional). Pada minggu pertama saya melanjutkan pendidikan di SMUN 3 jakarta selatan di awal tahun 2007. Saat itu, saya beserta teman-teman sekelas sedang belajar matematika. Seperti biasa, saya sering melakukan perhitungan dengan cara menulis penyelesaiannya di kertas coret-coret menggunakan pencil, berhubung ujung pencil nya sudah tumpul dan tidak memiliki alat peruncing pencil, maka saya berinisiatif meminjamnya dari  teman yang  duduk di depan meja saya.  Saya mulai bertanya “ sherly punya kerokan ga?”, beberapa saat kemudian sherly mulai menampakkan kerutan di dahi wajahnya. Awalnya, saya tidak memperdulikan respon sherly terhadap pertanyaan saya. Lalu dia mencoba bertanya terlebih dahulu “ cut, lw masuk angin ya??” tanpa pikir panjang dia langsung memberikan saya KOIN senilai Rp.500, dan mengatakan “nih, mungkin bisa buat ilangin anginnya”. Sempat terjadi keheningan sejenak lalu, tanpa pikir panjang saya langsung tertawa terpingkal-pingkal. kemudian saya menunjukkan pencil dan memperagakan hal apa yang akan saya lakukan dengan alat yang beristilah “kerokan ” itu. Sherly pun mulai mengerti dan ikut tertawa.

Saya menjelaskan maksud kata kerokan pada sherly. Penggunaan kata kerokan dipakai oleh sebagian besar siswa/i Aceh untuk menamai nama benda yang berfungsi untuk mengerut pensil. Sedangkan siswa/i Jakarta menggunakan istilah untuk menyebut alat tersebut dengan ”RAUTAN’ sedangkan “KEROKAN” untuk menamai barang yang berfungsi untuk mengurut punggung yang identik denngan KOIN, berkhasiat untuk meringankan gejala masuk angin. Setelah penjelasan  misunderstanding tersebut, sherly mulai banyak bertanya tentang kata-kata khusus bahasa indonesia yang dipakai oleh sebagian besar masyarakat  Aceh yang mempunyai makna berbeda dan unik.

Sebagian  cerita saya menimbulkan gelak tawa dan kekaguman sherly  akan kayanya Indonesia dengan keanekaragaman budaya yang bisa menyebabkan persepsi kita berbeda akan suatu hal. Mulai saat itu, pengalaman ini menjadi pertimbangan saya mempelajari suatu budaya baru.  Kalau pun terulang kembali sejenis pengalaman misunderstanding tersebut saya tetap harus hati-hati berbicara karena tidak semua momen misunderstanding berujung gelak tawa dan geli melainkan  pertengkaran ataupun permusuhan.
NAH, Bagaimana dengan teman-teman, punya pengalaman serupa atau mungkin lebih seru lagi,,,MARI BERBAGI !!! ^_~.