Pengalaman saya yang satu ini selalu membingkai bibir saya dengan senyum saat mengenangnya, yaitu tentang kesalahpahaman makna kata akibat beda budaya (masih bersifat nasional). Pada minggu pertama saya melanjutkan pendidikan di SMUN 3 jakarta selatan di awal tahun 2007. Saat itu, saya beserta teman-teman sekelas sedang belajar matematika. Seperti biasa, saya sering melakukan perhitungan dengan cara menulis penyelesaiannya di kertas coret-coret menggunakan pencil, berhubung ujung pencil nya sudah tumpul dan tidak memiliki alat peruncing pencil, maka saya berinisiatif meminjamnya dari teman yang duduk di depan meja saya. Saya mulai bertanya “ sherly punya kerokan ga?”, beberapa saat kemudian sherly mulai menampakkan kerutan di dahi wajahnya. Awalnya, saya tidak memperdulikan respon sherly terhadap pertanyaan saya. Lalu dia mencoba bertanya terlebih dahulu “ cut, lw masuk angin ya??” tanpa pikir panjang dia langsung memberikan saya KOIN senilai Rp.500, dan mengatakan “nih, mungkin bisa buat ilangin anginnya”. Sempat terjadi keheningan sejenak lalu, tanpa pikir panjang saya langsung tertawa terpingkal-pingkal. kemudian saya menunjukkan pencil dan memperagakan hal apa yang akan saya lakukan dengan alat yang beristilah “kerokan ” itu. Sherly pun mulai mengerti dan ikut tertawa.
Saya menjelaskan maksud kata kerokan pada sherly. Penggunaan kata kerokan dipakai oleh sebagian besar siswa/i Aceh untuk menamai nama benda yang berfungsi untuk mengerut pensil. Sedangkan siswa/i Jakarta menggunakan istilah untuk menyebut alat tersebut dengan ”RAUTAN’ sedangkan “KEROKAN” untuk menamai barang yang berfungsi untuk mengurut punggung yang identik denngan KOIN, berkhasiat untuk meringankan gejala masuk angin. Setelah penjelasan misunderstanding tersebut, sherly mulai banyak bertanya tentang kata-kata khusus bahasa indonesia yang dipakai oleh sebagian besar masyarakat Aceh yang mempunyai makna berbeda dan unik.
Sebagian cerita saya menimbulkan gelak tawa dan kekaguman sherly akan kayanya Indonesia dengan keanekaragaman budaya yang bisa menyebabkan persepsi kita berbeda akan suatu hal. Mulai saat itu, pengalaman ini menjadi pertimbangan saya mempelajari suatu budaya baru. Kalau pun terulang kembali sejenis pengalaman misunderstanding tersebut saya tetap harus hati-hati berbicara karena tidak semua momen misunderstanding berujung gelak tawa dan geli melainkan pertengkaran ataupun permusuhan.
NAH, Bagaimana dengan teman-teman, punya pengalaman serupa atau mungkin lebih seru lagi,,,MARI BERBAGI !!! ^_~.